Beranda | Artikel
Hukum Mengambil Upah Jampi-jampi (ruqyah)
Selasa, 1 April 2014

Oleh Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri

Pendahuluan

Alhamdulillah, segala puji semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Merawat kesehatan dan pengobatan penyakit adalah salah satu kebutuhan primer setiap manusia. Bahkan seringkali begitu pentingnya kebutuhan ini, dalam banyak kesempatan, Anda lebih mandahulukannya dibanding kebutuhan primer lainnya, sehingga Anda rela mengeluarkan biaya yang begitu besar. Semua itu demi menjaga dan mengembalikan kesehatan Anda.

Inilah yang menyebabkan banyak pihak dengan mudah memanfaatkan kesusahan Anda untuk mengeruk keuntungan yang melimpah ruah. Setiap orang yang merasa memiliki keahlian dalam perawatan dan pengobatan kesehatan, berlomba-lomba memasang tarif tinggi untuk perawatan atau pengobatan yang mereka tawarkan. Tanpa terkecuali sebagian orang yang merasa memiliki keahlian dalam pengobatan dengan metode “ruqyah” atau jampi-jampi dengan bacaan Al Qur’an dan doa’-doa’.

Hukum Upah Ruqyah.

Secara prinsip, tidak ada larangan bagi Anda untuk mengampil upah dari jasa menjampi-jampi saudara Anda yang menderita sakit. Bahkan dapat disimpulkan, bahwa seluruh ulama’ sepakat bahwa upah “jampi-jampi” adalah halal. Kesepakatan ulama’ ini berdasarkan beberapa dalil berikut:

Dalil pertama :

Sahabat Abu Said Al Khudri radhiallahu ‘anhu mengisahkan bahwa ia bersama sebagian sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melintasi satu kabilah Arab Badui, dan ternyata mereka enggan untuk memberikan jamuan. Di saat para sahabat Nabi sedang beristirahat, tiba-tiba kepala suku penduduk kampung tersebut disengat oleh binatang berbisa. Tak ayal lagi, penduduk kampung tersebut berupaya sekuat tenaga untuk mengobati kepala suku mereka. Akan tetapi, upaya yang mereka lakukan semuanya sia-sia, tidak mendatangkan hasil. Akhirnya mereka menjumpai para sahabat yang sedang beristirahat dan berkata, “Adakah bersama kalian obat atau seorang yang ahli menjampi-jampi?” Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh para sahabat untuk membalas perilaku penduduk kampung yang tidak simpatik terhadap mereka. Para sahabat berkata, “Sesungguhnya kalian tidak sudi menjamu kami, maka sekarang kami pun tidak sudi untuk menjampi-jampinya kecuali jika kalian memberi kami upah.” Tanpa menunda panjang, mereka pun setuju dan menjanjikan upah beberapa ekor kambing.

Akhir kisah, setelah disepakati upah yang dijanjikan, sebagian sahabat, yaitu Abu Sa’id Al Khudri menjampi-jampinya dengan bacaan Al Fatihah sebanyak tujuh kali. Tanpa butuh waktu yang lama, kepala suku itu segera sembuh seakan terbebas dari belenggu yang melilit tubuhnya.

Setelah upah berupa beberapa ekor kambing diterima, segera sebagian sahabat mengusulkan agar upah itu dibagi merata di antara mereka. Akan tetapi Abu Sa’id tidak menerima usulan ini, dan berkata, “Janganlah kalian terburu-buru untuk membaginya, hingga kita menanyakan perihal upah ini kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Setiba mereka di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, segera mereka menceritakan perihal upah tersebut. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menanggapi kisah mereka dan upah yang mereka dapat dengan bersabda, “Dari mana engkau mengetahui bahwa surat Al Fatihah dapat dijadikan untuk menjampi-jampi? Kemudian beliau melanjutkan sabdanya dengan berkata: kalian telah berbuat benar, bagilah upah itu, dan sertakan aku dalam pembagian upah yang kalian dapatkan.” (Muttafaqun ‘alaih) Pada riwayat lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Sesungguhnya hal yang paling layak untuk engkau pungut upah atasnya ialah kitabullah”.

Imam An Nawawi berkata: “Pada hadits ini terdapat penegasan bolehnya mengambil upah dari menjampi-jampi dengan bacaan Al Fatihah dan bacaan dzikir lainnya. Upah ini halal, dan tidak makruh. Demikian juga halnya dengan upah mengajarkan Al Qur’an. Inilah pendapat yang dikemukakan oleh Imam As Syafi’i, Malik, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur dan ulama’ terdahulu lainnya. Adapun Imam Abu Hanifah melarang upah dari mengajarkan Al Qur’an dan membolehkan upah menjampi-jampi.” (Syarah Shahih Muslim oleh Imam An Nawawi14/188)

Ibnu Hajar Al Asqalani juga menarik kesimpulan yang sama dengan yang ditegaskan oleh Imam An Nawawi. Beliau berkata, “Pada hadits ini terdapat penegasan bolehnya mengambil upah dari menjampi-jampi dengan bacaan Al Qur’an dan juga bacaan dzikir dan doa lainnya yang telah diajarkan atau tidak diajarkan, asalkan tidak menyelisihi bacaan yang telah diajarkan.” (Fathul Bari oleh Ibnu Hajar Al Asqalani 4/457)

Dalil kedua:

Sahabat ‘Ilaqah bin Shahhar radhiallahu ‘anhu mengisahkan bahwa ia melintasi suatu kaum, dan mereka berkata kepadanya, “Sesungguhnya engkau datang dari sisi Nabi Muhammad dengan membawa sesuatu yang baik (Al Qur’an dan bacaan dzikir), maka harap engkau sudi menjampi orang ini.” Mereka segera mendatangkan seorang gila yang telah mereka ikat kuat-kuat. Sahabat ‘Ilaqah pun menjampi-jampinya dengan bacaan Al Fatihah selama tiga hari, setiap pagi dan petang. Setiap ia usai membaca Al Fatihah, ia meludahi orang gila tersebut. Setelah berlalu tiga hari, orang gila itu kembali sehat, seakan terbebas dari belenggu. Sebagai imbalannya, mereka memberi sahabat ‘Ilaqah suatu pemberian.

Sepulangnya, sahabat ‘Ilaqah segera mengisahkan perihalnya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan beliau menanggapi kejadian ini dengan bersabda,“Nikmatilah upahmu, bila sebagian orang sungguh mendapatkan upahnya dengan bacaan jampi-jampi yang batil, maka engkau sungguh telah mendapatkannya dengan bacaan yang benar.” (HR. Ahmad dan Abu Daud. Syaikh Al Albani menyatakan bahwa hadits ini shahih).

Pada hadits ini dengan jelas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan sahabat ‘Ilaqah radhiallahu ‘anhu untuk memakan upah yang ia terima. Dengan demikian, tidak ada alasan bagi siapa pun untuk mengharamkan upah hasil menjampi-jampi.

Dalil ketiga:

Ibnu Qudamah mengutarakan alasan ketiga dibolehkannya mengambil upah dari menjampi-jampi dengan bacaan Al Qur’an atau doa, “Jampi-jampi (ruqyah) adalah pengobatan salah satu bentuk pengobatan, …. sedangkan pengobatan adalah pekerjaan yang halal untuk dipungut upah atasnya.” (Al Mughni 8/139)

Beberapa Peringatan Penting

Penjelasan di atas tentang bolehnya mengambil upah dari menjampi-jampi dengan bacaan Al Qur’an, bukan berarti Anda bebas memasang tarif layanan sesuka hati Anda. Tidak dipungkiri, orang-orang yang menyediakan layanan pengobatan alternatif sering kali memasang tarif yang tinggi, tanpa terkecuali sebagian ustadz yang melayani pengobatan dengan “jampi-jampi” alias ruqyah.

Dari mencermati keterangan para ulama’, Anda dapat menyarikan beberapa ketentuan penting, agar upah layanan ruqyah halal untuk Anda miliki.

1- Jampi-jampi Dengan Bacaan Al Qur’an atau Dzikir Atau Doa yang dibenarkan.
Ketentuan ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas, “Nikmatilah upahmu, bila sebagian orang sungguh mendapatkan upahnya dengan bacaan jampi-jampi yang batil, maka engkau sungguh telah mendapatkannya dengan bacaan yang benar.” Riwayat Ahmad, Abu Dawud dan oleh Al Albani dinyatakan sebagai hadits shahih.

Fakta di lapangan, membuktikan betapa banyak orang yang menjampi-jampi dengan bacaan yang berbau syirik, kultus khurofat, dan bahkan bacaan yang tidak diketahui apa artinya.

Ibnu Hajar al Asqalani menegaskan, Ulama’ telah bersepakat tentang bolehnya pengobatan dengan bacaan ruqyah, bila memenuhi tiga persyaratan. Hendaknya bacaan ruqyah menggunakan kalamullah, atau nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Dengan bahasa arab atau dengan bahasa lain yang dapat dipahami artinya. Dan hendaknya diyakini bahwa bacaan ruqyah tidaklah dapat dengan sendirinya mendatangkan kesembuhan. Kesembuhan hanyalah diperoleh atas karunia Allah Ta’ala. (Fathul Bari oleh ibnu Hajar Al Asqalani 10/195)

Karena itu, dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengoreksi bacaan-bacaan ruqyah yang telah beredar di masyarakat, sebagaimana yang dikisahkan oleh sahabat Auf bin Malik Al Asyja’i radhiallahu ‘anhu,

قَالَ كُنَّا نَرْقِى فِى الْجَاهِلِيَّةِ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ تَرَى فِى ذَلِكَ فَقَالَ ( اعْرِضُوا عَلَىَّ رُقَاكُمْ لاَ بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ يَكُنْ فِيهِ شِرْكٌ) رواه مسلم

Kami biasa melakukan ruqyah pada masa jahiliyah. Lalu kami bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Ya Rasulullah! bagaimana pendapat Anda tentang ruqyah? ‘ Jawab beliau, ‘Peragakanlah ruqyahmu itu di hadapanku. Mantera itu tidak ada salahnya selama tidak mengandung syirik” (HR. Muslim)

Selain bacaan jampi-jampinya selaras dengan syari’at, jauh dari mistik, syirik, khurafat, tahayul dan lain-lain, metode ruqyah-nya haruslah benar. Bila Anda amati praktek ruqyah sebagian orang, niscaya Anda akan keheranan, dari manakah asal usul cara ruqyah mereka. Sebagian mereka mengesankan kepada Anda, bahwa mereka berhasil menangkap jin, atau menggiring jin masuk ke dalam botol dan masih banyak lagi metode yang aneh dan jauh dari petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

2- Jujur.

Sebagian orang secara lahir mengesankan kepada pasiennya bahwa ia memberikan layanan secara gratis atau murah. Demikian nampak secara sekilas. Akan tetapi di belakang itu semua, ia menjual kepada Anda berbagai ramuan dengan harga yang luar biasa mahalnya. Sudah barang tentu, Anda merasa sungkan untuk menolak atau menawar ramuan tersebut dengan harga yang sepantasnya.

Kadang kala, sebagian orang yang membuka layanan ruqyah mengesankan kepada calon pasiennya bahwa ia telah berpengalaman, dengan harapan, agar pasien rela memberinya upah lebih.

Bila ini terjadi, maka keuntungan atau upah ruqyah yang diperoleh dengan cara semacam ini tidak halal untuk dinikmati. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Tidaklah halal harta seorang muslim kecuali dengan dasar kerelaan jiwa darinya”. (HR. Ahmad, Ad Daraquthny, dan Al Baihaqi. Al Hafizh Ibnu Hajar dan Syaikh Al Albany menyatakan bahwa hadits ini shahih).

3- Kesembuhan Hanyalah Kuasa Allah Ta’ala.

Di antara prinsip dasar akidah Islam ialah meyakini bahwa kekuasaan mengatur alam semesta hanyalah milik Allah, tidak terkecuali urusan sakit dan kesembuhan. Allah Ta’ala berfirman, “Dan apabila aku sakit, maka Dialah Yang menyembuhkan aku”. (QS. As Syu’ara’ 80)

Tidak heran, bila di antara bacaan ruqyah yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah, “Adzhibil baasa Robban Naasi, isyfi wa antasy syaafi, laa syifaa-a illa syifaa-uka, syifaa-an laa yughodiru saqoman” [Sirnakanlah keluhan wahai Tuhan seluruh manusia, sembuhkanlah dia, karena Engkaulah Dzat Penyembuh, tiada kesembuhan melainkan kesembuhan dari-Mu, kesembuhan yang tiada menyisakan rasa sakit]. (Muttafaqun ‘alaih).

Karenanya, di antara tanggung jawab moral orang yang membacakan ruqyah adalah menjelaskan hal ini kepada pasiennya.

Prinsip keimanan ini tentu menyelisihi ulah sebagian orang yang mengesankan bahwa ia kuasa menyembuhkan dan menolak penyakit sebelum datang dari pasiennya. Bila hal ini terjadi, maka dapat mempengaruhi status kehalalan upah yang ia peroleh. Sebab anda pasti setuju dengan saya bahwa sikap semacam ini termasuk penipuan dan pembodohan terhadap masyarakat.

Penutup:

Saudaraku! Kisah berikut sudah sepantasnya menjadi cerminan bagi Anda, terlebih-lebih bila Anda yang memiliki keahlian dalam pengobatan dan perawatan kesehatan.

Sahabat Jabir bin Abdillah mengisahkan, “Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami dari mengobati orang sakit dengan bacaan ruqyah. Lalu pada suatu hari keluarga Amer bin Hazem menjumpai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bertanya kepadanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya dahulu kami memiliki bacaan ruqyah yang kami gunakan untuk menjampi orang yang disengat kalajengking. Akan tetapi sekarang engkau melarang pengobatan dengan bacaan ruqyah. Selanjutnya mereka menunjukkan bacaan ruqyah mereka kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah mengetahui bacaan ruqyah tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku tidak menemukan hal yang bermasalah (pada bacaan ruqyah kalian). Barang siapa dapat membantu saudaranya, hendaknya ia melakukannya.” (HR. Riwayat Muslim)

Anda bisa renungkan, betapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan bahwa pasien yang Anda layani adalah saudara Anda. Dengan demikian, tidaklah layak, bila Anda hanya memikirkan keuntungan pribadi dari layanan pengobatan yang Anda berikan. Hubungan antara tenaga medis dan pasien adalah hubungan persaudaraan yang dilandasi oleh iman dan ketakwaan. Betapa indah dan harmonisnya tatanan masyarakat Islam bila hal ini benar-benar terwujud di tengah-tengah mereka. Wallahu Ta’ala a’alam. (*)

Sumber: Majalah Cetak Pengusaha Muslim Indonesia

PengusahaMuslim.com , .
Anda juga dapat menjadi sponsor, silakan hubungi: [email protected] / Telp: 081326333328


Artikel asli: https://pengusahamuslim.com/3467-hukum-mengambil-upah-jampijampi-1844.html